Monday, January 18, 2010

Badan Otorita D.Tempe

Pengelolaan perikanan Danau Tempe yang berwawasan lingkungan harus menerapkan pendekatan ekosistem. Pendekatan pengelolaan yang memperhatikan semua komponen lingkungan dan sub-sistem di dalamnya yang berhubungan dan saling mempengaruhi. Degradasi lingkungan danau yang sangat berdampak pada turunnya produktivitas perikanan merupakan dampak lingkungan dari pengelolaan ekosistem yang tidak seimbang. Berdasarkan analisis pengelolaan perikanan Danau Tempe yang kurang ramah lingkungan serta peraturan yang kurang mendukung kelestarian lingkungan danau, maka salah satu konsep yang dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan Danau Tempe yang lestari adalah adanya badan otorita pengelola danau, atau disebut Badan Otorita Danau Tempe.

Badan Otorita Danau Tempe merupakan sebuah konsep kelembagaan yang independen dan profesional untuk program rehabilitasi dan pengelolaan Danau Tempe dengan wewenang dari pemerintah pusat. Badan ini terdiri dari beberapa struktur dengan fungsi dan wewenang yang sesuai dengan kebutuhan. Salah satu struktur yang sangat berperan penting adalah kelompok pakar yang berfungsi membuat konsep program dan menganalisis semua input mengenai rehabilitasi dan pengelolaan Danau Tempe, serta mencari pembiayaan dan jaringan untuk membantu program-program pada tingkat regional, nasional dan internasional. Struktur-struktur yang lain akan menjalankan operasional badan otorita melalui program-program yang sudah dianalisis dari semua aspek.

Pada saat implementasi program rehabilitasi dan pengelolaan danau, serta keputusan-keputusan yang dibuat, maka semua pihak dari daerah-daerah terkait beserta instansinya, pemerintah propinsi dan pusat, serta lembaga-lembaga nasional dan internasional, akan terlibat dalam wadah otoritas yang independen, baik dari segi pembiayaan, penelitian, proyek serta kebijakan. Dengan adanya sebuah badan otorita yang legitimate dan independent, maka diharapkan program-program dapat dilakukan lebih serius serta tidak terkendala oleh birokrasi dan konflik antar wilayah dan kepentingan.

Adanya lembaga pengelola Danau Tempe akan memperjelas status pengelolaan danau. Lembaga pengelola akan menerapkan model pengelolaan Danau Tempe berdasarkan UU PLH dan UU Perikanan serta aturan-aturan lain, dengan tetap mengacu pada pendekatan ekosistem. Pihak-pihak yang telah memberikan input terhadap degradasi lingkungan danau dapat memenuhi tanggung jawab melalui aturan dan mekanisme yang jelas. Dalam UU PLH pasal 35 ayat 1 dijelaskan pula bahwa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Demikian pula dengan masyarakat yang telah merasa dirugikan akibat degradasi lingkungan yang terjadi di danau, akan dapat memperoleh haknya untuk perbaikan lingkungan danau sehingga mata pencaharian sebagai nelayan tidak terancam. Hal ini dijelaskan dalam UU PLH pasal 37 bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat, serta jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pihak-pihak terkait pengguna langsung sumberdaya Danau Tempe yaitu masyarakat, Pemda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Bapedalda, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, Dinas Kehutanan dan Konservasi Tanah, Dinas Pariwisata, dan swasta serta LSM pada tiga kabupaten dapat menginisiasi lembaga atau badan otorita ini. Kemudian pada kabupaten-kabupaten lain yang dilalui DAS yang bermuara ke Danau Tempe beserta pihak-pihak terkait di dalamnya yang turut memberikan input degradasi lingkungan Danau Tempe harus mendukung lembaga ini. Kelembagaan dengan komponen-komponen yang terintegrasi, selanjutnya harus didukung pula oleh pemerintah propinsi serta pemerintah pusat melalui kebijakan-kebijakannya.

Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup yang bertanggung jawab, maka semua komponen dalam suatu wilayah ekosistem memiliki hak dan kewajiban yang proporsional , baik pemerintah, masyarakat, serta lembaga lingkungan hidup dan pihak swasta. Tanggung jawab ini harus dilembagakan sehingga dapat dijalankan secara efektif dan terintegrasi. Melalui kelembagaan seperti badan otorita pengelola Danau Tempe, semua aspek pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, dapat dijalankan, sehingga nilai ekologis dan ekonomi Danau Tempe dapat difungsikan lagi.

Pengelolaan Danau Tempe

Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta kepenegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (UU Perikanan 2004).

Pengelolaan perikanan Danau Tempe di Kabupaten Wajo yang ramah lingkungan harus berdasarkan pada undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-Undang PLH dan Undang-Undang Perikanan. Dalam melakukan pengelolaan perikanan ramah lingkungan, terdapat peraturan dalam UU PLH dan UU Perikanan. Peraturan tersebut merupakan proses yang harus dilakukan agar pengelolaan yang dilakukan menjadi terintegrasi antara aspek ekologi dan ekonomi, yaitu pengelolaan perikanan danau yang berkelanjutan.

Peraturan dalam Undang-Undang PLH dan Undang-Undang Perikanan sifatnya masih umum dan dapat diterapkan secara operasional oleh pemerintah, masyarakat, swasta dan pihak-pihak lainnya melalui peraturan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) atau Peraturan Daerah (Perda). Beberapa perencanaan dan kebijakan pemerintah telah dilakukan untuk melakukan rehabilitasi lingkungan Danau Tempe yaitu Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1996 tentang Pengolahan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dan Rencana Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wajo, yang merupakan penjabaran dari Rencana Strategik Daerah Kabupaten Wajo Tahun 2004 – 2008, tetapi tidak mencantumkan secara spesifik dan terintegrasi untuk pengelolaan lingkungan Danau Tempe. Kemudian Program Pelestarian Danau Tempe dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Wajo yang memuat action plan rehabilitasi Danau Tempe secara komprehensif, yaitu rencana rehabilitasi mulai DAS inlet, muara sungai, Danau Tempe, serta DAS outlet Danau Tempe. Akan tetapi rencana program ini hanya sampai pada tahap perencanaan dan terkendala pendanaan dan sumberdaya manusia. Perencanaan lain yang memiliki konsep sama adalah program Kondisi dan Upaya Kuratif dan Proaktif untuk Pelestarian Lingkungan Hidup Kawasan Danau Tempe serta program penyelamatan air dan rehabilitasi DAS yang berhubungan dengan Danau Tempe dari Departemen Prasarana Wilayah.
Berdasarkan UU PLH dan UU Perikanan, pengelolaan perikanan yang ramah lingkungan dapat dijelaskan berdasarkan tahapan proses seperti di bawah ini.

1. Pendataan Sumberdaya Perikanan
Segala bentuk pengelolaan membutuhkan data sebagai dasar pembuatan model pengelolaan. Pendataan sumberdaya perikanan dibutuhkan sebagai data untuk pengelolaan perikanan yang menyeluruh serta berkelanjutan. Data yang diperlukan antara lain data potensi, data tingkat pemanfaatan, nelayan dan alat tangkap, serta data sosial ekonomi dan sarana prasarana lainnya. Pendataan sumberdaya perikanan di Danau Tempe membutuhkan tenaga sumberdaya manusia yang mengetahui metode pendataan dalam konsep data base perikanan. Hal ini menjadi tangung jawab pemerintah setempat yang harus berkoordinasi dengan semua instansi terkait, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan.
Hasil-hasil penelitian perguruan tinggi, lembaga pemerintahan, lembaga internasional, peraturan dan kearifan lokal, hasil seminar serta pertemuan-pertemuan lain harus dijadikan referensi pengelolaan Danau Tempe. Pernyataan pemerintah daerah Kabupaten wajo bahwa Danau Tempe harus dikelola dengan program aksi yang nyata, harus menjadi perhatian semua pihak. Data dan informasi sudah cukup untuk melakukan pengelolaan perikanan dan lingkungan yang terintegrasi di Danau Tempe.

2. Perencanaan Pengelolaan Perikanan
Kelengkapan data sumberdaya perikanan serta data pendukung lainnya merupakan kebutuhan utama dalam pembuatan perencanaan pengelolaan perikanan. Perencanaan bertujuan untuk menyusun strategi pengelolaan dengan menggabungkan aspek waktu, pembiayaan dan proyeksi hasil yang diharapkan. Perencanaan yang baik merupakan langkah awal dalam pengelolaan perikanan Danau Tempe yang berkelanjutan.
Perencanaan ini harus mengintegrasikan semua kepentingan semua pihak (stakeholder) yang memanfaatkan potensi sumberdaya di Danau Tempe. Pengelolaan Danau Tempe harus memiliki suatu payung hukum yang menjadi acuan untuk semua pihak, termasuk instansi pemerintah, swasta dan masyarakat sebelum mengimplementasikan program-program yang lebih intensif di danau.

3. Pemanfaatan Sumberdaya dan Penataan Pengelolaan
Pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan implementasi dari perencanaan yang telah dibuat. Pemanfaatan yang dilakukan harus mempertimbangkan aspek alamiah serta kebijakan pengelolaan. Pada waktu pemanfaatan, banyak aspek dari kondisi sumberdaya yang berubah dan tidak dapat diprediksi melalui perencanaan. Olehnya itu diperlukan penataan pengelolaan yang disesuaikan dengan perubahan kondisi.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah harus segera direvisi karena kurang memperhatikan prinsip lingkungan dalam materi kebijakan dan implementasinya. Payung hukum yang dibuat harus mempertimbangkan hukum lingkungan dan perikanan yang lebih tinggi yaitu UU PLH dan UU Perikanan. Hal ini menjadi syarat dalam pengelolaan perikanan di Danau Tempe, agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dan penataan pengelolaan dapat berjalan sesuai aturan hukum yang ada serta tetap memperhatikan aspek ekologi dan manfaat ekonomi danau.

4. Pemeliharaan dan Pemulihan Lingkungan
Aspek pemeliharaan dan pemulihan adalah kondisi yang dilakukan untuk mempertahankan kondisi alamiah sumberdaya perikanan di Danau Tempe. Pemeliharaan lingkungan ini dilakukan untuk menjaga daya dukung lingkungan agar produksi perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, sedangkan pemulihan lingkungan bertujuan untuk mengembalikan kondisi alamiah lingkungan Danau Tempe jika terdapat kerusakan atau faktor yang mengganggu kondisi danau akibat dampak suatu kegiatan.
Berdasarkan kenyataan yang ada sekarang di Danau Tempe, semua pihak menyatakan bahwa kondisi danau sudah mengalami degradasi lingkungan yang sangat parah akibat sedimentasi dan pencemaran. Sedimentasi dan pencemaran ini hanya merupakan akibat dari permasalahan dasar yaitu karena kerusakan ekosistem DAS. Pemulihan lingkungan danau harus direhabilitasi semua DAS yang masuk dan keluar dari Danau Tempe, hulu sampai hilir, sungai besar dan kecil, serta didukung oleh kebijakan dan penataan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan beberapa forum untuk penyelamatan Danau Tempe, beberapa program rehabilitas dapat ditempuh pemerintah untuk mengatasi degradasi lingkungan danau seperti pengerukan danau, pembuatan bendung gerak, reboisasi DAS. Hal ini sesuai penjelasan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan komisi DPR tahun 2003 bahwa berdasarkan data yang ada, kedalaman Danau Tempe 40 tahun yang lalu kurang lebih 30 meter, namun saat ini kedalaman yang ada hanya sekitar dalam 2 meter. Pendangkalan ini terjadi karena peningkatan sedimentasi pada sungai-sungai yang bermuara ke danau. Olehnya itu diperlukan langkah-langkah yaitu (1) Koordinasi antar instansi dalam program ini dan penerapan peraturan, (2) penyusunan Keppres Tata Ruang Sulawesi dan Program Penyusunan, (3) Master Plan Pengelolaan DAS Walanae – Cenrenae dimana Danau Tempe berada, (4) Pencegahan dengan pengendalian daerah hulu (penghijauan), (5) Pengerukan danau melalui Proyek Pengembangan Danau Tempe Departemen Pemukiman dan Parasarana Wilayah (Kimpraswil), dalam tiga tahap kegiatan, yakni: (a) Normalisasi Sungai Cenranae, (b) Pembangunan pintu air, dan (c) pembangunan sudetan di Sungai Welanae. Sesuai rencana,
Sungai Cenranae akan dinormalisasi melalui pengerukan sedimentasi sungai sepanjang 58 km ke arah muara di Teluk Bone. Hasil pengerukan ini akan dijadikan tanggul bantaran sungai seluas 220 ha yang sebelumnya harus dibebaskan. Normalisasi ini akan meliputi tujuh kecamatan di dua kabupaten, peningkatan peran serta masyarakat dan penegakan hukum. Langkah-langkah ini memerlukan komitmen yang kuat antar pemerintah pusat dan daerah dengan dana yang sangat besar.

5. Pengawasan, Pengendalian dan Penegakan Hukum
Pengawasan dan pengendalian adalah usaha pemerintah dalam implementasi peraturan pengelolaan perikanan danau agar tetap terlaksana secara sesuai ketentuan. Penegakan hukum berdasarkan UU PLH dan UU Perikanan harus menjadi landasan utama jika terdapat kesalahan peraturan atau tidak berjalannya kebijakan pengelolaan.
Pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum masih rendah pelaksanaannya di Danau Tempe. Hal ini disebabkan kebijakan yang tidak mendukung dari pemerintah setempat, baik pemerintah kabupaten-kabupaten yang bersangkutan, maupun kebijakan dari pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Olehnya itu, degradasi lingkungan danau harus diperbaiki dengan memulai dari kebijakan yang memayungi semua kepentingan dan program rehabilitasi serta pemanfaatannya.
Dalam implementasi pengelolaan perikanan di Danau Tempe Kabupaten Wajo harus mempertimbangkan aspek ekologis, ekonomi dan kebijakan serta faktor sosial. Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam laporan Nippon Koei co, Ltd (2003) bahwa pengembangan perikanan di Danau Tempe berdasar pada beberapa pertimbangan yaitu: (1) Kondisi sekarang perikanan di Danau Tempe , (2) Perikanan dan potensi ikan, (3) Aspek limnologi dan kondisi ekologis Danau Tempe, (4) Proyeksi konsumsi ikan masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Tempe, dan (5) rencana pengembangan Nasional, regional dan propinsi menyangkut ke tiga daerah. Untuk mendukung pengembangan perikanan di Danau Tempe, diperlukan penetapan Pusat Pengembangan Perikanan. Pusat ini di bawah koordinasi tiga pemerintah di sekitar Danau Tempe (Soppeng, Wajo dan Sidrap) dan menguasai pengembangan perikanan yaitu pemancingan, budidaya dan konservasi sumber daya perikanan. Pusat pengembangan ini akan bekerja sama dengan universitas, institut riset, pihak terkait lainnya dan profesional untuk memikirkan: menginovasi teknologi perikanan, cara mempercepat peningkatan pendapatan nelayan dan petani ikan, cara bertani yang baik dengan mekanisme kerjasama antara nelayan, perusahaan inti dan petani ikan, standar fasilitas perikanan, cara mempercepat produksi, dan lain lain.

Maccera' Tappareng

Aspek budaya masyarakat yang dilakukan oleh nelayan Danau Tempe adalah tanda kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rezeki yang diperoleh dari hasil menangkap ikan di danau. Budaya ini dikenal dengan nama maccera tappareng. Bentuk prosesi yang dilakukan dalam acara adat maccera tappareng adalah acara syukuran makan bersama dengan hidangan dari sumbangan nelayan, sosialisasi larangan yang terdiri dari dilarang menangkap pada malam Jumat dan hari Jumat, tidak boleh membawa dua alat tangkap dan tidak boleh berselisih di danau. Ketiga larangan tersebut memiliki makna lingkungan terhadap pengelolaan perikanan di Danau Tempe, yaitu:

1. Larangan menangkap ikan di danau pada malam jumat dan hari jumat, memiliki makna ekologis dan makna religius. Makna ekologisnya adalah dengan adanya satu hari dalam seminggu tidak menangkap ikan di danau dapat mengurangi tekanan ekologis akibat penangkapan ikan. Makna lainnya adalah makna religius yaitu adanya nilai religius nelayan Danau Tempe yang menganggap malam jumat dan hari jumat sebagai waktu yang sakral untuk beribadah.

2. Tidak boleh membawa dua parewa mabbenni atau alat tangkap menetap yang bermalam, memiliki makna ekologis dan makna sosial. Makna ekologisnya adalah untuk mengurangi eksploitasi terhadap ikan di danau akibat alat penangkapan ikan yang terlalu banyak. Makna sosialnya adalah agar tidak ada kesan perbedaan antara nelayan kaya yang memiliki alat tangkap banyak sehingga dapat menangkap ikan lebih banyak dibandingkan dengan nelayan yang hanya memiliki satu alat tangkap dan hanya dapat menangkap ikan sedikit.

3. Tidak boleh berselisih dan menyelesaikan masalah di danau. Maknanya adalah makna lingkungan sosial masyarakat yang menghindari konflik sosial antar nelayan. Nelayan yang berselisih di danau tidak boleh menyelesaikan masalahnya di danau karena dapat berakibat fatal jika terjadi perkelahian dan tidak orang yang melerai. Oleh karena itu masalah yang terjadi di danau harus diselesaikan di darat dengan cara musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh adat atau aparat.

Walaupun pelaksanaan budaya ini tidak dilaksanakan lagi setiap tahun, tetapi larangan ini masih cukup efektif penerapannya. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam UU PLH pasal 9 ayat 1 yaitu pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, serta UU Perikanan pasal 6 ayat 2 yaitu pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Hal ini sesuai juga dengan Perda Nomor 5 Tahun 2000 pasal 32 mengenai larangan-larangan dalam penangkapan ikan di Danau Tempe.

Pelanggaran atauran maccera tappareng tersebut disebut idosai dan jika terjadi pelanggaran maka nelayan bersangkutan harus melakukan maccera tappareng sendiri. Orang yang memimpin pelaksanaan maccera tappareng adalah Macoa Tappareng yang dipilih dari nelayan karena memiliki pengetahuan mengenai adat istiadat di danau. Maccera tappareng diadakan setelah nelayan Danau Tempe mendapatkan hasil menangkap ikan yang banyak, umumnya setelah banjir dan air sudah tenang serta pa’bungka toddo panen hasilnya.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa adanya budaya masyarakat di Danau Tempe hanya diketahui oleh 45,0 % responden, sementara 7,1 % menyatakan tidak ada, dan 47,9 % menyatakan tidak tahu. Rendahnya pengetahuan tentang adanya budaya sebelum atau sesudah menangkap ian di Danau Tempe disebabkan pelaksanaan budaya seperti maccera tappareng sudah tidak terlalu ramai pelaksanaannya. Bahkan sebagian masyarakat menyatakan budaya ini tidak lagi dilaksanakan setiap tahun, tetapi nanti setelah ada rezeki yang melimpah dari hasil menangkap ikan di danau. Sementara budaya mengenai pelestarian danau, masih satu paket dengan budaya maccera tappareng, dimana aturan-aturan adat akan dijelaskan kembali pada saat pelaksanaan budaya tersebut. Berdasarkan jawaban responden, 28,0 % menyatakan bahwa budaya pelestarian danau ada, 10,4 % menjawab tidak ada, dan 61,6 % menjawab tidak ada. Budaya maccera tappareng merupakan acara adat yang dilaksanakan turun temurun untuk menjaga sumberdaya ikan di danau serta tanda kesyukuran atas rezeki yang diperoleh dari hasil Danau Tempe.

Pelaksanaan budaya ini sudah tidak dilakukan tiap tahun, karena hasil panen ikan yang tidak cukup. Walaupun dilaksanakan, pelaksanaannya tidak ramai seperti tahun 1980-an.
 
Kondisi budaya maccera tapareng ini pernah ditulis pada beberapa media yang menggambarkan bahwa budaya ini sudah tidak ramai seperti tahun 1980-an. Seperti yang ditulis dalam harian Kompas (2003) yang mewawancara salah seorang nelayan yang menyatakan bahwa kami sangat rindu dengan tradisi-tradisi yang dulu selalu kami rayakan setiap tahun. Sekarang, apalagi yang mau dirayakan kalau ikan-ikan sudah tidak lagi melimpah seperti dulu. Sepertinya kalaupun kami melakukan upacara memanggil ikan-ikan itu kembali, tidak akan menolong keadaan. Bagaimana mau datang, kalau danaunya saja sudah hampir kering.

Dalam upacara ini, para nelayan, terutama yang berdiam di sekitar Danau Tempe, berkumpul mengucap syukur. Ucapan syukur ini di antaranya dilakukan dengan upacara tertentu dan memotong kerbau. Acara pemotongan kerbau ini kemudian dirangkai dengan acara makan-makan layaknya pesta. Untuk menambah kemeriahan acara ini, biasanya para nelayan mengadakan lomba perahu. Selain itu juga digelar acara mappadendang, yakni tari-tarian yang diiringi lagu-lagu adat setempat. Lebih dari itu semua, inti acara ini juga adalah ajang silaturahmi bagi para nelayan dan masyarakat setempat. Saat Danau Tempe masih jaya, tradisi ini menjadi salah satu penarik bagi wisatawan. Pelaksanaan tradisi ini biasanya dirangkaikan dengan Festival Danau Tempe yang diadakan hampir setiap tahun. Festival Danau Tempe ini pula yang dulu menjadi tujuan wisatawan terbesar ketiga setelah Toraja dan Pantai Bira.

Tetapi saat ini maccera tappareng sudah tidak pernah lagi dilaksanakan nelayan setempat. Terakhir, upacara adat ini dilaksanakan tiga tahun lalu. Tidak dilaksanakannya upacara ini bukan karena nelayan setempat tidak mau dan tidak mampu lagi melaksanakannya, tapi lebih karena mereka merasa tidak ada lagi yang patut diupacarakan. Demikian isi kutipan wawancara oleh Harian Kompas.

Macoa Tappareng masing-masing ada pada setiap desa dan kelurahan dalam kecamatan di sekitar Danau Tempe yaitu Tempe, Tanasitolo dan Sabbangparu. Kecuali Kecamatan Belawa, Macoa Tappareng sudah lama tidak berperan karena adanya ketua adat (Datu) yang menguasai hampir semua wilayah danau di Belawa. Khusus di Kecamatan Tempe terdapat Ketua Macoa Tappareng yang memimpin acara Maccera Tappareng setiap tahun di Danau Tempe. Macoa Tappareng memiliki forum pertemuan untuk membahas jika ada permasalahan di danau yang dilaksanakan di Bola Seratu’e Atakkae, Kecamatan Tempe.

Aktivitas Perikanan

Aktivitas utama yang dilakukan masyarakat di Danau Tempe adalah penangkapan ikan. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa ada beberapa cara dan alat penangkapan ikan yang tidak atau kurang ramah lingkungan. Cara menangkap ikan yang tidak atau kurang ramah lingkungan mempunyai akibat merusak lingkungan danau. Dari hasil survei dan penelusuran pustaka, ditemukan 19 cara dan alat penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan.

Umumnya cara penangkapan ikan di Danau Tempe umumnya masih dilakukan dengan cara kurang ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa cara dan alat yang dipakai oleh sebagaian besar responden (42,8 %) yaitu berupa jaring/lanra dan pallawang, yang termasuk dalam kategori alat kurang ramah lingkungan. Jaring atau lanra yang digunakan nelayan sebagian memiliki mesh size kurang dari 5 cm, sehingga ikan-ikan kecil juga tertangkap. Pallawang adalah wilayah hak pemanfaatan oleh nelayan yang disewa dari pemerintah. Dalam areal pallawang, nelayan dapat memasang bungka toddo atau alat tangkap lain. Cara ini kurang ramah lingkungan karena alat tangkap yang digunakan oleh nelayan jarang terkontrol oleh aparat, sehingga kemungkinan terdapat alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Pallawang juga dapat menjadi wilayah monopoli penangkapan ikan oleh nelayan yang memiliki modal besar untuk menyewa lahan dari pemerintah. Hal dapat menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.

Kemudian cara atau alat tangkap yang termasuk kategori tidak ramah lingkungan adalah julu, bungka toddo dan jabba dan 23,1 % responden melakukan cara dan alat tangkap ini. Julu adalah cara menangkap ikan menggunakan kantong jaring yang dipasang berlawanan dengan arus sungai. Alat ini tidak ramah lingkungan karena masyarakat dapat memasang julu dengan menutup semua alur sungai sehingga mengganggu transportasi sungai, jika kantong jaring yang dipakai berukuran kecil maka semua ukuran ikan akan tertangkap, sampah yang tertinggal dalam kantong jaring dapat menghalangi arus sungai, serta ada beberapa nelayan yang memiliki modal besar membuat sungai baru dan mengalirkan air dari danau kemudian dipasangi julu. Julu dapat disimpan dalam jangka waktu lama, umumnya sampai satu bulan lebih kemudian dipanen.

Cara lain yang tidak ramah lingkungan adalah bungka toddo karena tanaman air yang dipakai sebagai tempat mengumpulkan ikan memiliki akar yang sampai ke dasar danau dan menjadi perangkap sedimen (sediment trap) sehingga menambah sedimentasi di Danau Tempe, luas bungka toddo tidak sesuai ketentuan sehingga mengganggu aktivitas penangkapan nelayan lain, tanaman air yang hanyut pada saat banjir sangat membahayakan rumah penduduk, salah satu alat tangkap yang digunakan adalah strom (kontak) untuk mengambil ikan-ikan yang susah ditangkap seperti ikan gabus. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, cara atau alat tangkap yang paling mengganggu nelayan lain adalah bungka toddo dan julu.

Kemudian jabba juga termasuk alat yang tidak ramah lingkungan. Alat tangkap ini adalah sejenis alat tangkap berbentuk segi empat dari bahan jaring besi yang berfungsi sebagai perangkap ikan. Menurut wawancara dengan nelayan, contoh jabba berasal dari Kalimantan dan masuk ke Danau Tempe sekitar lima tahun lalu, dan belum banyak nelayan yang menggunakan alat ini. Jabba termasuk alat tidak ramah lingkungan karena cara penangkapan ikan yang tidak selektif, semua ukuran ikan dapat tertangkap, jabba yang sudah rusak langsung dibuang sembarangan tempat sehingga besi-besinya dapat membahayakan orang lain jika tertusuk, bahan besi yang berkarat dapat mencemari perairan danau. Jabba belum diatur dalam Perda pengelolaan perikanan Danau Tempe di Kabupaten Wajo.

Sedangkan alat atau cara menangkap ikan ramah lingkungan yang dilakukan oleh nelayan adalah jala, pancing, rawai (panambe), kalobong dan bubu, bubu konde, sulo bale dan timpo. Nelayan yang menggunakan cara ini adalah 34,1 %. Jala adalah alat tangkap ikan yang bahannya sama dengan jaring berbentuk lingkaran, penggunaannya dengan cara dilempar. Rawai adalah sejumlah pancing ikan yang dipasang pada tali panjang panjang yang terapung. Kemudian adalah galian tanah seluas 5 x 10 m dan memiliki pematang saluran setinggi 30 cm di pesisir danau atau sungai dengan jarak dari danau atau sungai sekurang-kurangnya 20 m, yang berfungsi sebagai tempat pemeliharaan ikan.

Selanjutnya adalah bubu, yaitu sejenis perangkap ikan yang terbuat dari bambu berbentuk silinder. Bubu biasanya untuk menangkap ikan jenis tertentu, tergantung cara pasangnya. Kemudian bubu konde, yaitu sejenis alat tangkap yang terbuat dari anyaman bambu (belle/seppi). Alat ini terdiri dari belle yang dipasang sebagai pagar untuk mengarahkan ikan ke arah ujung belle yang telah dipasangi belle berbentuk segitiga (konde) sehingga ikan terperangkap dalam bubu konde. Berikutnya adalah sulu bale, yaitu alat yang digunakan oleh nelayan menangkap ikan pada malam hari, dengan menggunakan obor dan ikan ditangkap memakai tombak. Alat lainnya adalah timpo yang fungsinya hampir sama dengan bubu, yaitu sejenis alat berbentuk silinder, terbuat dari anyaman bambu dan berfungsi sebagai perangkap ikan. Cara pasangnya berbeda dengan bubu, yaitu dipasang menggantung pada tali dikedalaman sekitar satu meter.

Kriteria alat tangkap ramah lingkungan yang dilakukan oleh nelayan Danau Tempe di Kabupaten Wajo harus dibandingkan dengan kriteria tingkat ramah lingkungan suatu alat tangkap dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries, FAO (1995), yaitu (1) Mempunyai selektifitas yang tinggi, (2) Tidak merusak habitat (3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi (4) Tidak membahayakan lingkungan, (5) Produksi tidak membahayakan konsumen, (6) By-Catch rendah, (7) Aman bagi keaneka ragaman hayati (Biodiversity), (8) Aman bagi spesies yang dilindungi, (9) Bersifat menguntungkan dan diterima secara sosial.

Metode dan alat tangkap yang dilakukan nelayan di Danau Tempe, Kabupaten Wajo terdiri dari alat tangkap aktif dimana nelayan melakukan pencarian ikan serta alat tangkap pasif dimana nelayan memasang alat dan menunggu ikan tertangkap. Alat dan bahan penangkapan ikan tersebut terdiri dari metode yang ramah lingkungan serta metode yang tidak ramah lingkungan. Alat-alat dan metode penangkapan nelayan selengkapnya adalah sbb:
1. Jala / Jala
2. Jaring / Lanra
3. Rawai / Panambe
4. Julu / Julu
5. Bungka toddo / Bungka toddo
6. Jebakan / Jabba
7. Bubu / Buw patoppo
8. Trawl mini / Bunre
9. Serok udang / Dari
10. Bubu / Buw konde
11. Timpo / Timpo
12. Pancing / Meng
13. Serok / Sero’
14. Dari / Dari
15. Strom aki / Kontak
16. Racun / potas / racung
17. Cappiang / Cappiang
18. Trap Belle/Seppi/Keere/jalajja
19. Sulo / Sulo
20. Pallawang / Pallawang
21. Balete /Balete

Kemudian berdasarkan hasil penelitian Nippon Koei co, Ltd (2003) bahwa dalam aktivitas perikanan di Danau Tempe, maka dapat digolongkan empat alat dan metode yaitu Jaring, perangkap, pancing dan jaring lempar (jala). Ditemukan sekitar 20 macam metode penangkapan ikan di Danau Tempe. Juga ditemukan dua macam metode menangkap tradisional yakni Bungka Toddo dan Pallawang serta metoda tangkap menggunakan racun dan listrik. Bungka toddo menggunakan eceng gondok dan kangkung yang mengapung. Ketika air danau dangkal, bungka toddo diberikan perangkap berupa potongan bambu dihubungkan, ditempatkan mengelilingi eceng gondok di dasar danau. Sedangkan pallawang adalah area tertentu di pinggir sungai atau danau yang merupakan milik pribadi, dipagari dan menjadi daerah penangkapan ikan untuk masyarakat.

Ekosistem Danau Tempe

Terbentuknya Danau Tempe berasal dari proses geologis yang bersamaan dengan terbentuknya Sulawesi Selatan serta tiga danau lain yaitu Danau Sidenreng, Danau Taparang Lapompaka, Danau Labulang. Dilaporkan bahwa Stratigrafi di daerah tersebut berumur Miosen dan Holosen. Ketidakselarasan berbagai lapisan pada zaman tersebut menunjukkan adanya pengangkatan sehingga mengakibatkan terjadinya patahan-patahan berarah kurang lebih Utara-Selatan dan memunculkan terban besar dan luas, terban Walennae. Terban ini memiliki relief rendah dibanding daerah sekitarnya hingga merupakan suatu cekungan sedimentasi (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1982).


Danau Tempe menempati tiga wilayah kabupaten dengan tujuh kecamatan. Bagian danau terluas terletak pada Kabupaten Wajo yang terdiri empat kecamatan yaitu Tempe, Sabbangparu, Tanasitolo dan Belawa. Kabupaten Soppeng dua kecamatan yakni Kecamatan Marioriawa dan Donri Donri, dan bagian yang tersempit adalah Kabupaten Sidrap dengan satu kecamatan yaitu Kecamatan Pancalautan. Secara geografis Danau Tempe terletak antara 119053’ - 120004’ bujur timur dan 4003’ – 4009’ lintang selatan. Elevasi permukaan air danau bervariasi antara 3 m pada musim kemarau sampai kurang lebih 10 m di atas permukaan laut pada musim hujan (Bappedal, 1999; Pemda Kab. Wajo, 1996).

Hingga akhir 1960-an Danau Tempe masih dikenal sebagai sentra terpenting produksi perikanan air tawar di Indonesia. Selama kurun waktu 1948 – 1969 produksi ikan danau terluas di Sulawesi Selatan ini tiap tahun mencapai 37.000 – 40.000 ton berbagai jenis ikan. Bahkan tahun 1957 – 1959 sempat menembus angka 50.000 ton/tahun. Melimpahnya produksi ikan Danau Tempe dikenal dengan mangkuk ikannya Indonesia. Sejak sepuluh tahun terakhir hasil alam perairan ini cenderung terus merosot. Tahun 1999 dan 2000 misalnya, hanya mencatat masing-masing 17.077 ton dan 17.200 ton cuma setengah produksi rata-rata tigapuluhan tahun sebelumnya. Akibat kerusakan lingkungan, terutama daerah hulu Danau Tempe yang disebabkan oleh penggundulan hutan, telah terjadi pendangkalan dan penyempitan danau. Di musim kemarau, danau hampir kering dengan rata-rata kedalaman air hanya 0,5 – 1,0 meter. Sebaliknya, pada puncak musim hujan, air banjir pemukiman penduduk dan menghanyutkan segalanya (Suara Publik, Januari 2003).

Danau Tempe sumber pendapatan paling penting untuk masyarakat lokal. Umumnya peluang mata pencaharian adalah perikanan, perkebunan dan peternakan. Danau Tempe adalah habitat lebih dari 40 jenis burung dan beberapa jenis tumbuhan air. Hal ini mendukung keanekaragaman biologi yang sangat besar, bersama dengan aktivitas perikanan dan aktraksi pariwisata (FAO of UN, 1995).

Danau Tempe adalah salah satu dari empat sub sistem Danau Tempe, yaitu . Sistem terdiri dari (i) DAS Bila dan Walanae, dengan karakter penebangan hutan, peladangan berpindah dan pertanian yang merusak, yang menyebabkan erosi penyebab dan pelumpuran yang meningkatkan perbedaan musim kering dan hujan; (ii) sungai Bila, Batu batu, Lawo, Bilokka dan Walanae yang ditandai oleh kurangnya alir, pelumpuran dan fluktuasi permukaan air; (iii) danau, yang terdiri dari tiga danau pada musim kemarau; Danau Tempe, Buaya dan Sidenreng. Pada musim hujan, total luas permukaan dapat mencapai 35,000 ha, sedangkan pada musim kering sekitar 1,000 ha. Sepanjang musim hujan 80 – 90 persen permukaan danau ditutupi oleh tanaman air; (iv) Sungai yang mengalir keluar yaitu Cenranae, karakternya sering terjadi banjir, kurangnya aliran air, pelumpuran (Nippon Koei co, Ltd, 2003).

Danau Tempe berada dalam kondisi tekanan pelumpuran, perluasan tumbuhan air, tekanan penangkapan ikan yang tinggi, pengaruh herbisida dan pestisida serta percepatan eutrifikasi. Wilayah tangkapan hutan dan tanah pertanian tidak tertata yang mengakibatkan erosi. Kemiskinan menjadi faktor utama yang dipertimbangkan dalam pembangunan DAS pada sistem danau. Program perbaikan seperti rehabilitasi dan pengelolaan terintegrasi harus dilakukan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah prinsip dasar dari pembangunan regional di bawah koordinasi pemerintah provinsi, termasuk azas kesamaan ekonomi, sosial, psikologikal dan dimensi lingkungan (FAO of UN, 1995).

Danau Tempe adalah suatu sistem dari tiga danau alam yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Terdapat akumulasi sedimentasi secara terus menerus, dan danau-danau ini semakin dangkal dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh input bahan organik dari massa yang besar tumbuhan perairan yang telah menutupi area danau. Meningkatnya populasi masyarakat di wilayah DAS Danau Tempe menyebabkan bahaya besar bagi daratan, mengakibatkan banyak wilayah menjadi tanah pertanian dan mengalami deforestrasi. Intesnifikasi pertanian menyebabkan masuknya penyubur tanah dan herbisida masuk ke danau yang mempertinggi pertumbuhan tanaman air. Wilayah sungai pengendali banjir dan pengairan juga menjadi lahan pertanian (FAO of UN, 1995).

Danau Tempe, termasuk Danau Sidenreng dan Buaya membentuk ekosistem perairan yang kaya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Danau tersebut adalah suatu kondisi lingkungan yang bermasalah akibat pergantian intervensi proses alam dan manusia. Sebagai ekosistem yang memberikan manfaat menjadi sumber konflik kepentingan. Hal ini menjadi perhatian seiring dengan meningkatnya aktivitas sekitar danau. Untuk menjaga manfaat secara berkelanjutan, diperlukan pengelolaan yang terintegrasi (FAO of UN, 1995).

Danau Tempe merupakan daerah tangkapan (catchement area) dari Sungai Bila dan Sungai Walanae yang terbentuk dari Sungai Boya, Lancirang dan Kalola yang masuk dari sebelah utara ke danau. Sungai Walanae masuk danau dari selatan terbentuk dari Sungai Langkeme, Belo, Mario, Menlareng dan Sanrego. Tiga sungai kecil mengalir secara langsung ke dalam danau, yaitu Lawo, Batu batu dan Biloka. Pada elevasi 6 meter di atas permukaan laut, Danau Tempe terpisah dari Danau Buaya dan Danau Sidenreng tetapi pada musim hujan (Februari – Mei); danau ini bersatu ke dalam suatu Danau Tempe Besar yang mencakup sekitar 30,000 hektar. Sepanjang periode yang kering (Juli – Desember), danau menyusut lagi menjadi 10,000 hektar atau pada musim kemarau panjang, bahkan sampai 1,000 – 5,000 hektar (Nippon Koei co, Ltd, 2003).

Bencana alam banjir akibat meluapnya Danau Tempe di Kabupaten Wajo beberapa waktu lalu karena hutan di bagian hulu DAS di sekitar danau itu telah rusak parah. Pemerintah di lima kabupaten harus turut mengatasi terjadinya kerusakan hutan di wilayah mereka agar Danau Tempe terhindar dari banjir yang terjadi hampir setiap tahun. Banjir pada tujuh buah sungai yang bermuara di danau tersebut membawa lumpur, sehingga di beberapa bagian danau, terutama di kawasan muara sungai menjadi dangkal.

Perekonomian Masyarakat

Perekonomian masyarakat sekitar Danau Tempe didominasi oleh pekerjaan sebagai nelayan dan pertanian tanah koti. Biasanya masyarakat yang mengerjakan tanah koti juga bermata pencaharian sebagai nelayan. Pertanian tanah koti dilakukan pada musim kering dan pekerjaan sebagai nelayan dilakukan pada musim hujan atau air menggenangi tanah koti. Sementara sebagian kecil masyarakat berprofesi sebagai pedagang, pengusaha dan pegawai negeri.
Berdasarkan data statistik bahwa struktur penduduk menurut mata pencaharian di Danau Tempe masih di dominasi oleh sektor pertanian, perikanan dan peternakan yaitu 31.800 jiwa atau sebesar 56,45 % dari penduduk usia kerja yang bekerja. Besarnya angkatan kerja yang terserap di sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah yang memang potensial untuk pengembangan komoditi pertanian dan perikanan.
Sementara untuk sektor-sektor lainnya yang diharapkan lebih mampu menyerap angkatan kerja, seperti sektor industri ternyata masih belum mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri hanya sebanyak 7.254 jiwa atau sebesar 12,88 %. Demikian pula dengan mata pencaharian di sektor jasa, yang merupakan kegiatan ekonomi sekunder masih rendah menyerap tenaga kerja yaitu hanya 6.841 jiwa atau hanya sebesar 12,14 % dari angkatan kerja yang bekerja.

Sosial Budaya Masyarakat

Dari hasil survey dan data yang ada menunjukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat masih rendah, indikator yang dapat kami lihat adalah rendahnya pengatahuan dan tingkat pendidikan masyarakat, kegiatan-kegiatan ekonomi masih bersifat subsistem, sarana penunjang kegiatan ekonomi yang masih tradisional dan kurangnya alternatif yang dapat lebih diberdayakan dan dikembangkan, kelembagaan masayarakat yang tidak berfungsi dengan baik khususnya kelembagaan adat dan yang lebih utama adalah tidak adanya partisipasi masyarakat lokal dalam upaya mewujudan pengelolaan Danau Tempe secara terpadu.

a. Adat Istiadat
Danau Tempe berada di lingkungan masyarakat suku bugis, yang memiliki norma dan nilai-nilai budaya beragam. Salah satu nilai budaya yang terkait dengan lingkungan adalah memelihara dan melestarikan alam. Sekarang ini nilai-nilai dan kebiasaan adat yang dahulu dilakukan masyarakat disekitar Danau Tempe telah mulai menghilang. Salah satu sistem pengelolaan lahan yang menjadi kebiasaan adat di wilayah Danau Tempe sejak dahulu adalah melakukan sistem makoti. Makoti adalah sistem pembagian lahan yang akan diolah (bukan hak milik) setelah air danau surut, lahan yang dibagi merupakan lahan kosong yang kering. Sistem ini pembagian dilakukan dengan mengundi yang didasarkan atas posisi atau letak lahan masing-masing Lahan tersebut dibagi berdasarkan jumlah peminat yang ingin mengolah lahan kosong tersebut, kemudian lahan tersebut dibagi berdasarkan kedekatannya dengan areal danau. Sistem ini sangat disukai oleh masyarakat, karena menurutnya sangat baik dan adil dalam pengelolaan lahan usaha. Dan juga dengan sistem ini kebersamaan dan kekeluargaan diantara mereka dapat terpelihara.
Budaya lain adalah Maccera Tappareng yang dilakukan oleh masyarakat pesisir danau pada empat kecamatan. Budaya ini merupakan upacara adat yang dilaksanakan untuk mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan rahmatnya dengan melimpahnya ikan di Danau Tempe. Dalam upacara ini, para nelayan, terutama yang berdiam di sekitar Danau Tempe, berkumpul mengucap syukur. Kompas (2003) menulis bahwa ucapan syukur ini dilakukan dengan upacara tertentu dan memotong kerbau. Acara pemotongan kerbau ini kemudian dirangkai dengan acara makan-makan layaknya pesta. Untuk menambah kemeriahan acara ini, biasanya para nelayan mengadakan lomba perahu. Selain itu juga digelar acara mappadendang, yakni tari-tarian yang diiringi lagu-lagu adat setempat. Lebih dari itu semua, inti acara ini juga adalah ajang silaturahmi bagi para nelayan dan masyarakat setempat. pelaksanaan tradisi ini biasanya dirangkaikan dengan Festival Danau Tempe yang diadakan hampir setiap tahun. Festival Danau Tempe ini menjadi tujuan wisatawan dari mancanegara dan wisatawan lokal.
Dalam pelaksanaan adat istiadat, yang paling berperan adalah Macoa Tappareng. Wawancara dengan beberapa Macoa Tappareng menjelaskan bahwa tugasnya adalah ikut menjaga kelestarian Danau Tempe dengan mengatur masyarakatnya yang hidup dari danau ini. Tugas Macoa Tappareng juga mengawasi agar jenis-jenis ikan asli danau seperti biawang dan bungo, tetap ada. Macoa Tappareng pula yang mengatur dan mengawasi agar penangkapan ikan di Danau Tempe tidak menggunakan pa’bu, yakni sejenis racun ikan untuk menangkap ikan

b. Tingkat Pendidikan
Tingkat dan sarana pendidikan penduduk disekitar wilayah perairan Danau Tempe secara umum belum cukup memadai. Masih banyak keterbatasan dalam hal sarana penunjang dan kesadaran pentingnya pendidikan, menyebabkan tingkat pendidikan penduduk masih relatif rendah. Sebagian besar masyarakat tingkat pendidikanya hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (48 % dari jumlah penduduk), sehingga dalam melakukan kegiatan penyuluhan dan pelatihan memerlukan penyampaian yang terinci, jelas dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pengembangan usaha yang dilakukan serta sulit menguasai teknologi dan manajemen usaha.
Jumlah Sekolah Berdasarkan Banyak Penduduk pada empat kecamatan Pesisir Danau Tempe
1. Tempe; Penduduk (53.211 jiwa) ; SD (41), SMP (6), SMA (4)
2. Sabbangparu; Penduduk (25.771 jiwa) ; SD (29), SMP (3). SMA (0)
3. Tanasitolo; Penduduk (38.014 jiwa) ; SD (34), SMP (200, SMA (0)
4. Belawa; Penduduk (29.979 jiwa) ; SD (370, SMP (20, SMA (1)
Sumber: Kabupaten Wajo dalam Angka, 2005

c. Tingkat Kesehatan Masyarakat Di Sekitar Danau
Kondisi kesehatan masyarakat disekitar Danau Tempe pada umumnya masih sangat rentan terhadap penyakit. Jenis penyakit yang sering diderita masyarakat disekitar danau Tempe adalah jenis penyakit saluran pernapasan, diare/muntaber, kulit, malaria, cacingan, batuk, mata, influenza dan gigi.
Pada umumnya para penduduk yang mengalami gangguan kesehatan, mereka berobat ke Puskesmas Pembantu yang ada di wilayah mereka. Namun apabila ada penyakit yang kurang mampu ditangani oleh perawat dan mantri atau dokter yang ada, maka mereka dirujuk ke Rumah Sakit yang ada di ibukota Kabupaten. Disamping itu sebagian masyarakat di sekitar Danau tempe masih tergantung atau percaya pada hal-hal yang supranatural sehingga ada juga yang berobat ke dukun.

Degradasi Lingkungan Danau

Proses terbentuknya Danau Tempe yang berasal dari proses pergeseran dan pengangkatan batuan atau daratan, memberikan karakter terhadap sifat fisik lingkungan danau seperti landai dari wilayah daratan sekitarnya serta elevasi yang rendah dari permukaan laut. Hal menimbulkan bajir tahunan jika datang musim hujan. Karakter fisik ini diperparah lagi oleh kondisi alam disekitarnya serta tindakan manusia yang tidak menjaga kelestarian ekosistem lingkungan danau secara keseluruhan, mulai dari hulu sungai sampai ke dalam danau. Beberapa degradasi lingkungan yang sedang terjadi di Danau Tempe dapat dijelaskan seperti di bawah ini.

a. Sedimentasi
Pendangkalan merupakan permasalahan ekologis, setidaknya ada dua penyebab dari permasalahan besar tersebut yang sangat kompleks dan terkait dengan masalah-masalah lain di Danau Tempe yaitu sedimentasi dan pencemaran. Berdasarkan Laporan BAPEDAL Regional III (2000) bahwa proses hidrologi langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi erosi dan sedimen serta aspek kualitas air danau. Ada beberapa sungai yang bermuara dan menjadi sumber sedimen Danau Tempe yaitu 1) Sungai Bila dengan 3 Daerah Aliran Sungai (DAS) pada 3 kabupaten yaitu Kab. Enrekang, Kab. Sidrap dan Kab.Wajo. Besarnya sedimen daerah tangkapan air sungai Sungai Bila sebanyak 192.592 juta m3, 2) Sungai Walennae dengan DAS mencakup 4 kabupaten yaitu Kab. Soppeng, Kab. Bone, Kab. Maros dan Kab. Wajo. Sedimen yang terbawa dan masuk ke danau sebesar 786.066j uta m3, 3) Sungai-sungai kecil seperti Sungai Wettee, Sungai Batu-Batu, Sungai Waronge, Sungai Tancung dan lain-lain juga memberikan kontribusi sedimen sebesar 90.491 juta m3.
Total sedimen yang masuk ke Danau Tempe adalah 1.069.099 juta m3, sementara yang dikeluarkan melalui Sungai Cenranae adalah 550.490 juta m3. Dengan demikian sisa sedimen yang mengendap di dasar danau sebesar 518.609 juta m3. Jika setiap tahunnya sedimen tidak keluar dan terus mengendap maka akan terjadi proses pendangkalan danau setinggi 0,37 cm dari proses sedimentasi (Bapedal, 2000).
Sedimentasi yang terjadi 0,37 cm setiap tahun telah menyebabkan pendangkalan yang menimbulkan dampak negatif bagi sumberdaya perikanan Danau Tempe. Danau Tempe menjadi lebih dangkal dan volume air berkurang sehingga ruang perairan untuk habitat ikan juga berkurang.
Sedimen yang masuk ke DAS merupakan akumulasi erosi dan buangan rumah tangga dan industri sepanjang DAS. Erosi disebabkan oleh penebangan hutan di sekitar hulu dan sepanjang DAS sehingga aliran air pada saat hujan mengikis lapisan tanah dan terbawa ke sungai. Kemudian pada badan air danau terdapat banyak tanaman air baik yang tumbuh dari dasar danau maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bungka toddo. Tanaman air ini menjadi perangkap sedimen dan mengendapkan sedimen ke dasar danau. Menurut penelitian Nippon Koei (2003), bahwa sepanjang musim hujan 80 – 90 persen permukaan danau ditutupi oleh tanaman air.
Suara Publik (2003) menulis bahwa akibat kerusakan lingkungan, telah terjadi pendangkalan dan penyempitan danau. Di musim kemarau, danau hampir kering dengan rata-rata kedalaman air hanya 0,5 – 1,0 meter. Sebaliknya, pada puncak musim hujan, air banjir pemukiman penduduk dan menghanyutkan segalanya.

b. Pencemaran.
Air danau dan aliran-aliran sungai di sekitarnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai sumber air bersih, tetapi masyarakat tidak mengetahui tingkat pencemaran air dan juga kebutuhan air bersih untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus) hanya bertumpu pada air sungai dan danau. Laporan Bappedal (2000) menunjukkan bahwa setidaknya ada 3 sumber-sumber pencemar air danau yaitu 1) Kegiatan Rumah Tangga yang menghasilkan bahan buangan organik (dedaunan, bekas bungkusan kertas), buangan olahan bahan makanan (ikan, daging), buangan zat kimia (dari sabun, detergen, shampoo, dan bahan pembersih lain), 2) Kegiatan Pertanian seperti penggunaan pestisida (insektisida, herbisida, zat pengatur tumbuh) dan pupuk (ZA, DAP, Urea, NPK dan lain-lain), 3) Kegiatan Industri dengan 4 golongan yaitu industri makanan dan tembakau, pertenunan sutera dan pakaian jadi, industri kayu dan perabot, industri percetakan. Bahan buangan dari industri berupa buangan padat, organik, olahan makanan dan zat kimia.
Hal yang juga menjadi perhatian utama adalah pencemaran perairan yang terjadi, berdasarkan penelitian lembaga kami dan Bappedal Wil. III menunjukkan adanya indikator bahwa perairan Danau Tempe mengalami pencemaran seperti perubahan suhu air, pH, warna, bau, rasa, tingginya kekeruhan, logam berat (timbal dan arsen) dan meningkatnya radioaktivitas air. Sumber utama yang membawa bahan pencemar keperairan adalah aktivitas masyarakat yang semakin meningkat dalam bentuk kegiatan pertanian dan limbah dari pemukiman yang padat di sekitar areal Danau Tempe. Masalah pencemaran ini merupakan akibat dari aktivitas masyarakat di sekitar danau dan DAS yang kurang tertata. Masyarakat belum memiliki kesadaran tentang pentingnya pelestarian perairan sungai dan danau. Hal ini disebabkan umumnya masyarakat masih memiliki tingkat pendidikan rendah dan keterampilan/pengetahuan yang kurang dalam mengelola (mengeksploitasi) danau serta dalam melakukan aktivitas sekitar danau atau DAS.
Permasalahan sedimentasi dan pencemaran yang cenderung semakin tinggi memberikan kontribusi terhadap proses pendangkalan di Danau Tempe. Hasil Penelitian JICA (1993) menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi pendangkalan berkisar 15 – 20 cm dan cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan kesimpulan Laporan BAPEDAL Regional III (2000) menyatakan bahwa apabila laju sedimentasi terus meningkat setiap tahunnya diperkirakan 100 – 200 tahun kemudian Danau Tempe akan menjadi suatu daerah dataran yang subur karena adanya penumpukan sedimen yang banyak mengandung bahan organik.

c. Terjadi peningkatan gulma air
Tingginya produktifitas dan kesuburan Danau Tempe terlihat dari semakin meningkatnya pertumbuhan gulma air pada perairan danau dimana luas penutupannya mencapai 40 %. Hal ini dapat menjadi ancaman karena membantu mempercepat proses pendangkalan Danau Tempe. Tanaman air yang menjadi gulma di danau adalah didominasi oleh eceng gondok, akar tanaman ini dapat mencapai dasar danau dan menjadi perangkap sedimen kemudian mengendapkan di dasar danau.
Menurut wawancara dengan nelayan dijelaskan bahwa pada akhir musim hujan, dimana banyak nelayan yang memasang bungka toddo dari tanaman air khususnya eceng gondok dan kangkung, sehingga akan menutupi sebagian besar permukaan danau dan menyulitkan jalur nelayan yang menggunakan perahu. Kondisi biasanya dapat menimbulkan konflik antara nelayan pemilik bungka toddo dengan nelayan yang menggunakan jaring. Pada saat memasuki musim kering dimana danau semakin sempit karena air sudah turun, hal ini menyebabkan permukaan danau akan tertutupi sampai 90 % oleh tanaman air.

d. Terancamnya satwa liar dan biota air di areal Danau Tempe
Menurunnya kualitas lingkungan perairan Danau Tempe mempengaruhi daya dukung organisme didalamnya sehingga keberadan satwa liar dan biota air semakin terancam. Dan terdapat indikasi menurunnya populasi beberapa satwa liar dan biota air, khususnya yang jenis endemik. Berdasarkan survei dan wawancara dengan masyarakat sekitar danau dijelaskan bahwa biota seperti burung (cawiwi, lawase) dan ikan endemik (bungo, belanak, sidat/masafi) sudah jarang dijumpai di danau.

Potensi Perikanan Danau

Potensi sumberdaya Danau Tempe yang sudah dikelola dan dimanfaatkan sejak dahulu oleh masyarakat adalah potensi perikanan. Danau Tempe dikenal dengan produksi perikanan air tawar dan hasil ikan tersebut dipasarkan sampai keluar wilayah Kabupaten Wajo. Potensi perikanan ini telah memberikan manfaat kepada masyarakat dan pemerintah. Tetapi produksi perikanan telah menurun karena kondisi lingkungan danau yang semakin menurun. Produksi perikanan Danau Tempe dapat dilihat dalam Suara Publik (2003) dimana diinformasikan bahwa hingga akhir 1960-an Danau Tempe masih dikenal sebagai sentra terpenting produksi perikanan air tawar di Indonesia. Selama kurun waktu 1948 – 1969 produksi ikan danau terluas di Sulawesi Selatan ini tiap tahun mencapai 37.000 – 40.000 ton berbagai jenis ikan. Bahkan tahun 1957 – 1959 sempat menembus angka 50.000 ton/tahun. Melimpahnya produksi ikan Danau Tempe dikenal dengan mangkuk ikannya Indonesia.

Potensi perikanan Danau Tempe masih cukup besar, khususnya untuk penangkapan di perairan danau. Potensi ini relatif tetap terjaga karena restocking yang dilakukan pemerintah setiap tahun. Kemudian berdasarkan data statistik tahun 2006, produksi perikanan air tawar sekarang yang berasal dari Danau Tempe serta nilainya tahun 2005 adalah 9.785 Ton atau sebesar Rp. 58.786.750.000.
Produksi dan nilai perikanan yang berasal dari Danau Tempe memberikan kontribusi ekonomi yang cukup tinggi kepada masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo. Kemudian potensi luas areal penangkapan menunjukkan bahwa luas areal penangkapan ikan di danau pada empat kecamatan di atas adalah 8.973 ha.

Kondisi Umum Danau Tempe

Umumnya Danau Tempe lebih dikenal terletak di Kabupaten Wajo karena wilayah terluas berada di wilayah ini, utamanya wilayah Kecamatan Tempe dimana Ibukota Kabupaten Wajo berada, serta wilayah tiga kecamatan lainnya yaitu Belawa, Tanasitolo dan Sabbangparu. Sedangkan wilayah lain dari Danau Tempe berada di Kabupaten Soppeng dan Sidrap. Hal ini dapat dilihat pada data Bappedal (1999) bahwa Danau Tempe menempati tiga wilayah kabupaten dengan tujuh kecamatan. Bagian danau terluas terletak pada Kabupaten Wajo yang terdiri empat kecamatan yaitu Tempe, Sabbangparu, Tanasitolo dan Belawa. Kabupaten Soppeng dua kecamatan yakni Kecamatan Marioriawa dan Donri Donri, dan bagian yang tersempit adalah Kabupaten Sidrap dengan satu kecamatan yaitu Kecamatan Pancalautan. Secara geografis Danau Tempe terletak antara 119053’ - 120004’ bujur timur dan 4003’ – 4009’ lintang selatan.

Lingkungan Danau Tempe

Pengelolaan lingkungan khusus perikanan yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada prinsip kelestarian telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan ini dapat dilihat pada beberapa pengelolaan sumberdaya alam seperti laut, hutan, danau dan wilayah pemukiman atau perkotaan. Salah satu sumberdaya alam yang telah mengalami kerusakan akibat pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek-aspek lingkungan adalah Danau tempe yang berada di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Danau Tempe telah mengalami kerusakan lingkungan sehingga fungsi ekonomi sebagai sumber perikanan air tawar dan fungsi ekologis juga mengalami gangguan, bahkan mengakibatkan bencana banjir yang terjadi setiap tahun.
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan danau untuk perikanan air tawar, masyarakat menggunakan metode yang tidak ramah lingkungan serta kebijakan yang kurang memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Kebijakan pengelolaan perikanan air tawar yang diatur dalam UU Perikanan yang diterapkan di Danau Tempe dilaksanakan secara tidak sinergis dengan UU PLH. Penerapan kebijakan lain juga terdapat indikasi pada beberapa sektor tidak sinergis. Kondisi ini terlihat pada beberapa forum yang membicarakan Danau Tempe. Pengelolaan yang diprioritaskan oleh Pemda Wajo sekarang yaitu pariwisata, tidak memungkinkan jika mempertimbangkan kondisi danau. Sedangkan kebijakan lain seperti pembuatan pintu karet/bendung bergerak, pengerukan dan reboisasi DAS danau serta program lainnya (Mustafa dan Tangke, 2003), tidak dapat terlaksana karena kebijakan yang tidak sinergis dan tidak ada kerjasama dengan pihak-pihak terkait/stakeholders, serta tidak ada wadah yang kredibel untuk melakukan program rehabilitasi Danau Tempe secara terintegrasi.
Eksploitasi yang merusak dan mengancam wilayah sekitar danau juga cenderung meningkat. Eksploitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan penebangan hutan disepanjang hulu Inlet atau sungai yang masuk ke danau sangat mengancam degradasi ekologis serta aktivitas bungka toddo oleh nelayan. Hal ini juga sudah terlihat di sepanjang pinggiran sungai yang dekat dengan danau. Kemudian aktivitas pertanian dan perkebunan yang menggunakan pestisida menjadi sumber pencemar dan meningkatkan gulma air. Hal ini mengakibatkan terjadi sedimentasi di Danau Tempe. Hasil Penelitian JICA dalam Bappedal (2000) menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi pendangkalan berkisar 15 – 20 cm dan cenderung meningkat setiap tahun. Dan berdasarkan kesimpulan Laporan BAPEDAL Regional III (2000) menyatakan bahwa apabila laju sedimentasi terus meningkat setiap tahunnya diperkirakan 100 – 200 tahun kemudian Danau Tempe akan menjadi suatu daerah dataran. Hal ini juga disebabkan oleh faktor alami karena Danau Tempe terbentuk dari proses geologis dan merupakan danau tektonik yang akan tertimbun secara alami (Pusat Arkeologi Nasional, 1982)

Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan hidup yang baik adalah lingkungan yang dapat melestarikan fungsi-fungsinya yaitu menjaga daya dukung dan daya tampung bagi faktor biotik dan abiotiknya. Lingkungan yang dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang berkelanjutan kepada manusia serta bagi generasi mendatang.
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan mempengaruhi subsistem yang lain, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan ekosistem secara keseluruhan.
Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumberdaya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun. Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. Oleh karena itu diterbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut dengan UU PLH).
Salah satu unsur ekosistem yang menjadi lingkup pengaturan UU PLH ini adalah lingkungan perairan, yaitu danau. Umumnya danau di Indonesia dikelola oleh pemerintah dan masyarakat untuk keperluan perikanan. Pengelolaan perikanan di danau sangat berhubungan dengan aspek lingkungan hidup serta memiliki kebijakan yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (selanjutnya disebut dengan UU Perikanan).
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumberdaya ikan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan serta sesuai dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) bahwa sasaran yang ingin dicapai dalam pengelolaan lingkungan adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antargenerasi, antardunia usaha dan masyarakat, dan antarnegara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal.
Pembangunan nasional di bidang lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang. Tetapi beberapa kenyataan menunjukkan bahwa kondisi lingkungan hidup di Indonesia memiliki banyak permasalahan, seperti kebijakan pengelolaan lingkungan, pertambahan penduduk dan kerusakan sumberdaya alam. Permasalahan ini dapat disebabkan oleh kebijakan dan pelaksanaannya, yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat diterapkan secara efektif dan efisien, serta masyarakat yang tidak mengerti tentang pentingnya pelestarian lingkungan atau karena tekanan ekonomi.

About Me

My photo
Sengkang - Makassar, South Sulawesi, Indonesia