Monday, January 18, 2010

Maccera' Tappareng

Aspek budaya masyarakat yang dilakukan oleh nelayan Danau Tempe adalah tanda kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rezeki yang diperoleh dari hasil menangkap ikan di danau. Budaya ini dikenal dengan nama maccera tappareng. Bentuk prosesi yang dilakukan dalam acara adat maccera tappareng adalah acara syukuran makan bersama dengan hidangan dari sumbangan nelayan, sosialisasi larangan yang terdiri dari dilarang menangkap pada malam Jumat dan hari Jumat, tidak boleh membawa dua alat tangkap dan tidak boleh berselisih di danau. Ketiga larangan tersebut memiliki makna lingkungan terhadap pengelolaan perikanan di Danau Tempe, yaitu:

1. Larangan menangkap ikan di danau pada malam jumat dan hari jumat, memiliki makna ekologis dan makna religius. Makna ekologisnya adalah dengan adanya satu hari dalam seminggu tidak menangkap ikan di danau dapat mengurangi tekanan ekologis akibat penangkapan ikan. Makna lainnya adalah makna religius yaitu adanya nilai religius nelayan Danau Tempe yang menganggap malam jumat dan hari jumat sebagai waktu yang sakral untuk beribadah.

2. Tidak boleh membawa dua parewa mabbenni atau alat tangkap menetap yang bermalam, memiliki makna ekologis dan makna sosial. Makna ekologisnya adalah untuk mengurangi eksploitasi terhadap ikan di danau akibat alat penangkapan ikan yang terlalu banyak. Makna sosialnya adalah agar tidak ada kesan perbedaan antara nelayan kaya yang memiliki alat tangkap banyak sehingga dapat menangkap ikan lebih banyak dibandingkan dengan nelayan yang hanya memiliki satu alat tangkap dan hanya dapat menangkap ikan sedikit.

3. Tidak boleh berselisih dan menyelesaikan masalah di danau. Maknanya adalah makna lingkungan sosial masyarakat yang menghindari konflik sosial antar nelayan. Nelayan yang berselisih di danau tidak boleh menyelesaikan masalahnya di danau karena dapat berakibat fatal jika terjadi perkelahian dan tidak orang yang melerai. Oleh karena itu masalah yang terjadi di danau harus diselesaikan di darat dengan cara musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh adat atau aparat.

Walaupun pelaksanaan budaya ini tidak dilaksanakan lagi setiap tahun, tetapi larangan ini masih cukup efektif penerapannya. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam UU PLH pasal 9 ayat 1 yaitu pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, serta UU Perikanan pasal 6 ayat 2 yaitu pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Hal ini sesuai juga dengan Perda Nomor 5 Tahun 2000 pasal 32 mengenai larangan-larangan dalam penangkapan ikan di Danau Tempe.

Pelanggaran atauran maccera tappareng tersebut disebut idosai dan jika terjadi pelanggaran maka nelayan bersangkutan harus melakukan maccera tappareng sendiri. Orang yang memimpin pelaksanaan maccera tappareng adalah Macoa Tappareng yang dipilih dari nelayan karena memiliki pengetahuan mengenai adat istiadat di danau. Maccera tappareng diadakan setelah nelayan Danau Tempe mendapatkan hasil menangkap ikan yang banyak, umumnya setelah banjir dan air sudah tenang serta pa’bungka toddo panen hasilnya.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa adanya budaya masyarakat di Danau Tempe hanya diketahui oleh 45,0 % responden, sementara 7,1 % menyatakan tidak ada, dan 47,9 % menyatakan tidak tahu. Rendahnya pengetahuan tentang adanya budaya sebelum atau sesudah menangkap ian di Danau Tempe disebabkan pelaksanaan budaya seperti maccera tappareng sudah tidak terlalu ramai pelaksanaannya. Bahkan sebagian masyarakat menyatakan budaya ini tidak lagi dilaksanakan setiap tahun, tetapi nanti setelah ada rezeki yang melimpah dari hasil menangkap ikan di danau. Sementara budaya mengenai pelestarian danau, masih satu paket dengan budaya maccera tappareng, dimana aturan-aturan adat akan dijelaskan kembali pada saat pelaksanaan budaya tersebut. Berdasarkan jawaban responden, 28,0 % menyatakan bahwa budaya pelestarian danau ada, 10,4 % menjawab tidak ada, dan 61,6 % menjawab tidak ada. Budaya maccera tappareng merupakan acara adat yang dilaksanakan turun temurun untuk menjaga sumberdaya ikan di danau serta tanda kesyukuran atas rezeki yang diperoleh dari hasil Danau Tempe.

Pelaksanaan budaya ini sudah tidak dilakukan tiap tahun, karena hasil panen ikan yang tidak cukup. Walaupun dilaksanakan, pelaksanaannya tidak ramai seperti tahun 1980-an.
 
Kondisi budaya maccera tapareng ini pernah ditulis pada beberapa media yang menggambarkan bahwa budaya ini sudah tidak ramai seperti tahun 1980-an. Seperti yang ditulis dalam harian Kompas (2003) yang mewawancara salah seorang nelayan yang menyatakan bahwa kami sangat rindu dengan tradisi-tradisi yang dulu selalu kami rayakan setiap tahun. Sekarang, apalagi yang mau dirayakan kalau ikan-ikan sudah tidak lagi melimpah seperti dulu. Sepertinya kalaupun kami melakukan upacara memanggil ikan-ikan itu kembali, tidak akan menolong keadaan. Bagaimana mau datang, kalau danaunya saja sudah hampir kering.

Dalam upacara ini, para nelayan, terutama yang berdiam di sekitar Danau Tempe, berkumpul mengucap syukur. Ucapan syukur ini di antaranya dilakukan dengan upacara tertentu dan memotong kerbau. Acara pemotongan kerbau ini kemudian dirangkai dengan acara makan-makan layaknya pesta. Untuk menambah kemeriahan acara ini, biasanya para nelayan mengadakan lomba perahu. Selain itu juga digelar acara mappadendang, yakni tari-tarian yang diiringi lagu-lagu adat setempat. Lebih dari itu semua, inti acara ini juga adalah ajang silaturahmi bagi para nelayan dan masyarakat setempat. Saat Danau Tempe masih jaya, tradisi ini menjadi salah satu penarik bagi wisatawan. Pelaksanaan tradisi ini biasanya dirangkaikan dengan Festival Danau Tempe yang diadakan hampir setiap tahun. Festival Danau Tempe ini pula yang dulu menjadi tujuan wisatawan terbesar ketiga setelah Toraja dan Pantai Bira.

Tetapi saat ini maccera tappareng sudah tidak pernah lagi dilaksanakan nelayan setempat. Terakhir, upacara adat ini dilaksanakan tiga tahun lalu. Tidak dilaksanakannya upacara ini bukan karena nelayan setempat tidak mau dan tidak mampu lagi melaksanakannya, tapi lebih karena mereka merasa tidak ada lagi yang patut diupacarakan. Demikian isi kutipan wawancara oleh Harian Kompas.

Macoa Tappareng masing-masing ada pada setiap desa dan kelurahan dalam kecamatan di sekitar Danau Tempe yaitu Tempe, Tanasitolo dan Sabbangparu. Kecuali Kecamatan Belawa, Macoa Tappareng sudah lama tidak berperan karena adanya ketua adat (Datu) yang menguasai hampir semua wilayah danau di Belawa. Khusus di Kecamatan Tempe terdapat Ketua Macoa Tappareng yang memimpin acara Maccera Tappareng setiap tahun di Danau Tempe. Macoa Tappareng memiliki forum pertemuan untuk membahas jika ada permasalahan di danau yang dilaksanakan di Bola Seratu’e Atakkae, Kecamatan Tempe.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Sengkang - Makassar, South Sulawesi, Indonesia